Cuteki kawaii

Welcomeee..... !!!!!!!!!! :)) :)) :))

this is my note, share for everyone . . . . .

Rabu, 16 November 2011

Analisis Cerpen


1002652
Apresiasi Prosa Fiksi Indonesia
Analisis Cerpen
Dua Orang Sahabat karya A.A. Navis


       I.            PENDAHULUAN
Apresiasi merupakan kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh
sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan, pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Effendi, 2002). Pentingnya mengapresiasi cerpen atau novel pada umumnya untuk memberikan penghargaan lebih terhadap karya yang kita baca. Terlebih pada cerpen yang saya baca dan analis ini karena bagi saya cerita ini sangat menarik dan terkadang masih terjadi dalam kehidupan yang nyata.
            Cerpen ini sebenarnya sederhana tapi mengandung makna yang sangat dalam juga jelas. Memiliki makna yang begitu mendalam bagi pentingnya sebuah persahabatan yang harus dihiasi dengan kejujuran juga pengertian. Dan pentingnya komunikasi yang baik dalam sebuah persahabatan. Semua itu tergambar jelas dari konflik yang terjadi.
            Cerita yang ditampilkan memang masih berkisar pada kejadian yang ada dalam kehidupan sehari-hari, tetapi tetap penting untuk dibaca karena banyak manfaat yang dapat diambil dari peristiwa-peristiwa atau konflik yang terjadi dalam cerpen ini, dan dapat juga kita mengambil hikmah dari setiap peristiwa dalam cerpen ini.


    II.            ALUR
Alur dalam cerpen ini merupakan alur campuran, ada maju juga flash backnya. Dari
awal si tokoh yang sedang berjanjian bertemu dengan tokoh lainnya dan sedikit menceritakan cerita yang di masa lalu.
“Seperti sudah dijanjikan, dua orang lelaki bertemu di jempatan beton dekat simpang tiga depan kantor pos. Yang satu kekar dan yang lain kurus. Keduanya sama mendekatkan arloji ke mata, seolah hendak tahu apa mereka tiba tepat waktu. Ketika itu malam belum lama tiba. Hujan yang turun sedari sore, tinggal renyai. Malam menjadi kian gelap dan lebih dingin hawanya. Salah seorang mengenakan mantel hujan. Yang lain bermantel plastik transparan.”
1
Disini dilukiskan bahwa peristiwa ini terjadi pada saat itu yang bisa diklasifikasikan sebagai alur maju.
"Kita telah bersahabat sejak SMP. Berapa lama itu? Kau ingat? Lebih dua puluh tahun." si kekar memulai bicara sebagai awal pembicaraan yang panjang dengan mengingatkan segala apa yang telah diberikannya kepada si kurus selama mereka bersahabat kental. Nadanya membanggakan kelebihannya dan melecehkan si kurus dengan kalimat sindiran.
"Sekali hari kau kenalkan Nita padaku. Katamu, temanmu. Aku naksir dia. Aku lamar dia pada orang tuanya. Lalu kami kawin. Sejak itu kau berobah. Mana aku tahu Nita pacarmu." kata si kekar. Dan disini dilihatkan percakapan yang mencoba sedikit menceritakan kembali kejadian pada masa lampau, yang juga bisa diklasifikasikan sebagai alur mundur atau bisa dibilang flash back.
"Sekarang, kita berada disini, di padang yang luas ini, di malam sehabis hujan turun, dimana kilat masih sabung-bersabungan. Namun dalam hati kecilku aku menyesali kehadiran kita disini. Aku merasa konyol. Tapi.....kalau tidak dengan cara begini menyelesaikan persoalan kita, hilanglah harga diriku." kata si kekar dengan gaya orang partai yang mencoba menumbuhkan kesan kagum yang diharapkannya. Tapi si kurus masih tidak menanggapi. Dia masih bersikap seperti tadi, berdiri tanpa peduli. Tetapi disini, dilukiskan kembali bahwa cerpen ini mengalami rangkaian peristiwa yang maju, mundur, dan maju lagi.
Jadi dapat dikatakan dalam cerpen ini terdapat alur campuran antara alur maju juga alur mundur tetapi maju lagi dan pengarang mencoba melukiskannya dengan memberikan sentuhan menceritakan kembali kisah di masa lalu, tetapi tetap dalam kejadian yang sedang berlangsung itu.


 III.            TOKOH
1.      Tokoh Utama
1)      Si Kekar:
Si Kekar ini memang berbadan besar dan kekar, juga berotot, diawal cerita dilukiskan si Kekar ini seperti orang yang tangguh, berani, kuat, sangar, ataupun galak.
"Gila. Dia berani. Sekali aku pukul, pasti klenger." kata si kekar dalam hatinya.
2
"Orang bertubuh besar, kekar, bangga dengan otot. Tapi tidak punya otak. Dan kalau kaya, sombong. Tidak punya perasaan." kata si kurus dalam hatinya juga.
"Mengapa dia berani? Apa dia punya ilmu? Ilmu apa? Ah, ilmu. Kalau orang Indonesia punya ilmu, tidak akan bisa Belanda lama-lama menjajah negeri ini. Tapi dia ini punya ilmu apa?" kata si kekar lagi pada dirinya.
"Homo homini lupus, kata Hobbes. Itu benar. Tapi tidak selamanya." kata si kurus.
"Karena orang kecil punya otak. Harus cerdik. Sejarah mengatakannya begitu." kata si kurus masih dalam hati.
"Aku pecah kepalanya sampai otaknya berderai. Biar bangkainya tahu, jangan coba-coba melawan aku." kata si kekar pula.
Jelas di sana terlihat, penggambaran watak oleh pengarang yang menggambarkan bahwa si Kekar ini ceritanya sebagai orang yang kuat, penantang, tangguh, sombong dengan kekekarannya terhadap sahabatnya yang dianggap lebih rendah darinya. Padahal itu semua tidak benar begitu adanya, karena sebenarnya si Kekar ini memang berani dan besar tubuhnya, tetapi dilukiskan juga bahwa si Kekar ini sebagai orang yang pecundang.
"Maksudku, hanya ingin menyelesaikan persoalan antara kita. Bukan untuk berbunuh- bunuhan. Karena kita berhabat karib." kata si kekar dengan suara lirih. Si kurus membalikkan badannya. Lalu melangkah ke arah mereka datang tadi. Tidak tergesa-gesa. Juga tidak pelan.
"Tunggu. Tunggu aku." seru si kekar. Karena si kurus terus menjauh, dia mengikuti dengan langkah panjang-panjang. "Jangan kau salah mengerti. Sebenarnya aku tidak hendak berkelahi. Apalagi dengan kau." katanya setelah dekat. Si kurus tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa melambatkan langkah. Si kekar terus juga bicara tentang penyesalannya mengajak si kurus ke tempat yang sepi itu. Kemudian katanya: "Aku minta maaf sebesar-besar maafmu. Kau mau, bukan?" Karena si kurus terus tidak berkata, di pegangnya tangan si kurus. Tapi si kurus merenggutkan tangannnya dari pegangan itu. Terperengah berdiri si kekar beberapa saat.


3
Di sini, dilukiskan kembali bahwa si Kekar yang pemberani, kuat dan sombong itu ternyata seseorang yang bisa dibilang pengecut, dirasa dia yang memiliki kesalahan dimasa lalu, tetapi dia yang berani menantang untuk berkelahi tetapi dia pula yang meminta maaf.
"Aku orang terdidik. Terpandang pada mata masyarakat. Aku tidak mau mati terbunuh oleh sahabat karibku sendiri. Tak aku sangka, kau mau membunuhku."
"Mestinya aku ludahi wajahmu. Tapi apa gunanya menghina orang yang kalah?" kata si kurus dalam hati. Seketika ada pikiran yang mengganggunya, bagaimana kalau si kekar jadi pemenang. "Pasti seperti pemenang pada perang saudara."
Dalam kutipan ini pun, dapat kita lihat penggambaran watak tokoh si Kekar yang lainnya, dia bisa menjadi seorang penakut saat menantang sahabatnya untuk duel dan sahabatnya itu menantang lagi dengan yang lebih mengerikan seperti menggunakan pisau untuk dapat mengalahkan si Kekar, meski dirasa kurang baik apabila harus melawannya dengan menggunakan pisau, tetapi bisa jadi itu hanya buah dari ketakutan si Kekar.
2)      Si Kurus (Dali):
Si Kurus ini pun memang berbadan kurus dan terakhir diketahui namanya yaitu Dali. Di awal-awal cerita, Dali ini dilukiskan sebagai tokoh yang tertindas, tetapi dia memiliki pemikiran-pemikiran sendiri yang menunjukkan bahwa dia juga berani dan kuat, tetapi sangat pendiam dan cuek.
"Orang bertubuh besar, kekar, bangga dengan otot. Tapi tidak punya otak. Dan kalau kaya, sombong. Tidak punya perasaan." kata si kurus dalam hatinya juga.
"Mengapa dia berani? Apa dia punya ilmu? Ilmu apa? Ah, ilmu. Kalau orang Indonesia punya ilmu, tidak akan bisa Belanda lama-lama menjajah negeri ini. Tapi dia ini punya ilmu apa?" kata si kekar lagi pada dirinya.
"Homo homini lupus, kata Hobbes. Itu benar. Tapi tidak selamanya." kata si kurus.
"Karena orang kecil punya otak. Harus cerdik. Sejarah mengatakannya begitu." kata si kurus masih dalam hati.

4
"Aku pecah kepalanya sampai otaknya berderai. Biar bangkainya tahu, jangan
coba-coba melawan aku." kata si kekar pula.
"Orang kuat, orang kaya, itu maunya takdir. Jika enggan menghormati kaum jelata, hormatilah takdir. Kalau mereka tidak mau, lawan takdir itu. Takut melawan, terinjak terus. Kalau melawan, gunakan otak. Akali. Kalah menang juga takdir." kata si kurus masih dalam hatinya.
Jelas di sini dilukiskan bahwa si Kurus adalah seseorang yang diam, acuh, tak banyak bicara tetapi dia juga sebenarnya tokoh yang berani dan kuat, mempunyai pemikiran-pemikiran tersendiri yang diplomatis, perasaan yang sedang dialaminya itu dianalogikan kedalam aspek lain, itu juga mencirikan bahwa si Kurus ini merupakan orang yang pintar, terdidik, juga dewasa.
"Mengapa tak kau buka mantelmu? Kau menyesal?"
"Apa pedulimu?"
"Baik." kata si kekar sambil menyelesaikan menggulung lengan kemejanya. Kemudian dia kepalkan tinjunya sambil menyurutkan langkah selangkah. Siap untuk berkelahi. Tiba- tiba dia lihat sesuatu yang berkilat di tangan si kurus.
"Apa itu?" tanyanya.
"Pisau," jawab si kurus tegas.
"Oh. Kau berpisau? Itu curang namanya." kata si kekar seraya menyurutkan kakinya selangkah lagi. Tak ada jawab si kurus.
"Kalau kau main curang, buat apa kejantanan? Aku tidak mau berduel dengan orang curang." kata si kekar.
"Kencing kau." carut si kurus untuk menghina. Si kekar kehilangan nyali.
"Kalau aku tahu kau bawa pisau ......." Dan angin bertiup lagi. Dedaunan berdesauan pula. Kini seperti bersorak girang atas kemenangan orang kecil atas keangkuhan orang besar. Lama kemudian si kekar berkata lagi, tapi dengan suara yang kendor.
"Aku orang terdidik. Terpandang pada mata masyarakat. Aku tidak mau mati terbunuh oleh sahabat karibku sendiri. Tak aku sangka, kau mau membunuhku."
"Mestinya aku ludahi wajahmu. Tapi apa gunanya menghina orang yang kalah?" kata si kurus dalam hati.

5

Seketika ada pikiran yang mengganggunya, bagaimana kalau si kekar jadi pemenang. "Pasti seperti pemenang pada perang saudara."
Dalam kutipan percakapan ini juga dilukiskan bahwa Dali adalah seseorang yang lebih berani dalam menanggung resiko apapun, dia berani menghalalkan segala cara demi mewujudkan sesuatu yang dia anggap benar dan menganggapnya semua itu adalah sebuah kemenangan meskipun harus membunuh sahabatnya yang telah menjadi sahabatnya itu selama berpuluh-puluh tahun meskipun pula Dali menganggap sahabatnya itu terlalu sering melecehkan harga dirinya.
"Tunggu. Tunggu aku." seru si kekar. Karena si kurus terus menjauh, dia mengikuti dengan langkah panjang-panjang. "Jangan kau salah mengerti. Sebenarnya aku tidak hendak berkelahi. Apalagi dengan kau." katanya setelah dekat. Si kurus tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa melambatkan langkah. Si kekar terus juga bicara tentang penyesalannya mengajak si kurus ke tempat yang sepi itu. Kemudian katanya: "Aku minta maaf sebesar-besar maafmu. Kau mau, bukan?" Karena si kurus terus tidak berkata, di pegangnya tangan si kurus. Tapi si kurus merenggutkan tangannnya dari pegangan itu. Terperengah berdiri si kekar beberapa saat. Angin malam terasa bertiup lagi. Dedaunan pohon pinggir jalan itu mendesau seketika. Si kekar melangkah cepat, lebih cepat dari langkah si kurus. Setelah beberapa langkah mendahului, dia berdiri dan menanti si kurus mendekat. Didekapnya kedua telapak tangannya di bawah dagunya seperti patung Budha. Lalu katanya memelas: "Aku minta sungguh, jangan kau ceritakan peristiwa ini kepada siapapun. Hancur harga diriku. Akan apa kata Nita, kalau dia tahu? Hancur aku. Hancur." Si kurus terus melangkah. Si kekar terus menghadang dengan langkah mundur. Tanpa merobah letak kedua tangan, si kekar berkata lagi: "Apapun yang kau minta akan aku beri, asal kau tidak ceritakan kepada siapapun. Habis aku. Hancur harga diriku. Katakan apa yang kau mau. Kalau kau mau Nita, ambillah. Aku ikhlas."
Tiba-tiba dia berhenti. Dia ingat mantelnya tergantung pada ranting belukar. Tergesa-gesa dia kembali untuk mengambilnya.

6
Tergesa-gesa pula dia mengenakan mantel serta mengancingkannya. Sedangkan matanya terus juga memandang si kurus yang kian menjauh dan kian hilang dalam gelap malam. Dia berlari mengejar sambil memangil-manggil nama si kurus dan minta si kurus menunggu. Ketika sampai di tempat mereka berpisah tadi, si kekar berhenti. Dia memandang berkeliling mencari dimana si kurus berada. Tidak siapapun terlihat, selain gelap malam. Bulu romanya merinding. Sambil berlari kencang, dia memanggil nama si kurus keras-keras.
"Dali, tunggu. Dali, tunggu. Jangan tinggalkan aku. Daliiii." Si kurus keluar dari persembunyiannya di belukar, setelah suara si kekar tidak terdengar lagi. Dia bersembunyi karena enggan berjalan seiring dengan sahabat lama yang sudah jadi bekas sahabat.
Tetapi apabila kita lihat pula kutipan percakapan yang ini, kita juga bisa menafsirkan bahwa Dali adalah seorang yang memang pendiam, tak banyak bicara dan tak banyak aksi, dilihat juga dia tidak dapat tega untuk sampai membunuh sahabatnya itu, dapat ditangkap pula dia lebih memilih tidak untuk bersahabat lagi daripada mengaku sahabat tetapi masih ada pertengkaran yang dianggap sangat menganggu persahabatannya itu. Saya kira, itu adalah sikap yang bijaksana.
2.      Tokoh Tambahan
1)      Perempuan:
Tiba-tiba pintu rumah di pinggir kiri jalan terbuka. Cahaya lampu minyak melompat keluar. Masuk ke gelap malam. Kepala seorang perempuan menjulur. Dia memandang lama kepada kedua laki-laki itu. Laki-laki itu juga memandangnya. Ketika lelaki itu berjalan terus, kepala perempuan itu lenyap lagi ke balik pintu sambil menggerutu. "Sialan, bukan mereka." Dan perempuan lain di dalam rumah cekikikan ketawa. Lalu hilang karena pintu ditutup lagi.
Tak banyak yang dilukiskan terhadap dua tokoh ini, tetapi dapat dilihat dari kutipan ini bahwa mereka adalah perempuan biasa yang ada pada saat itu, yang sedang menunggu kedatangan lelaki, entah sahabatnya ataupun pacarnya. Tapi, dapat kita tangkap mereka sedang menunggu seseorang yang special dan terlihat kesal saat dilihat keluar bukan seseorang yang ditunggu, dan yang
7
lainnya malah menertawakan itu. Terlihat perempuan yang tertawa itu merupakan sahabat dari perempuan yang satunya adalah orang yang jahil, yang senang melihat sahabatnya kesal menunggu kedatangan sesorang. Dan, perempuan yang satunya dilihat adalah tokoh yang tidak sabaran dan tidak suka menunggu lama.
2)      Hobbes:
"Bagi kamu musang, selalu ada sekandang ayam untuk kamu terkam. Apalah daya ayam karena sudah takdirnya begitu. Kata Hobbes hanya cocok untuk binatang. Manusia yang binatang, ya, sama. Tapi aku manusia. Manusia yang manusia. Kalau kuat, ya, jangan menindas. Kalau tidak mau melawan, jadi ayamlah kamu." kata si kurus lagi.
"Orang bertubuh besar, kekar, bangga dengan otot. Tapi tidak punya otak. Dan kalau kaya, sombong. Tidak punya perasaan." kata si kurus dalam hatinya juga.
"Homo homini lupus, kata Hobbes. Itu benar. Tapi tidak selamanya." kata si kurus.
"Karena orang kecil punya otak. Harus cerdik. Sejarah mengatakannya begitu." kata si kurus masih dalam hati.
Tak banyak yang dilukiskan dalam cerpen ini mengenai Hobbes, karena pada cerita Hobbes memang bukan pelaku yang berperan. Dikira, Hobbes ini merupakan sosok ilmuan yang sangat dapat mempengaruhi pemikiran-pemikirannya si Kurus dalam berfikir, karena di sini dilukiskannya bahwa si Kurus ini banyak menggunakan apa yang dikatakan oleh si Hobbes ini. Jelas dapat kita tafsirkan bahwa Hobbes ini merupakan tokoh yang dikagumi oleh si Kurus dan pemikiran-pemikiran dari Hobbes ini dapat menjadi inspirasi atau pegangan oleh si Kurus.
3)      Nita:
"Kita telah bersahabat sejak SMP. Berapa lama itu? Kau ingat? Lebih dua puluh tahun." si kekar memulai bicara sebagai awal pembicaraan yang panjang dengan mengingatkan segala apa yang telah diberikannya kepada si kurus selama mereka bersahabat kental.


8
Nadanya membanggakan kelebihannya dan melecehkan si kurus dengan kalimat sindiran.
"Sekali hari kau kenalkan Nita padaku. Katamu, temanmu. Aku naksir dia. Aku lamar dia pada orang tuanya. Lalu kami kawin. Sejak itu kau berobah. Mana aku tahu Nita pacarmu." kata si kekar.
"Kalau kapal suka berobah arah ke mana angin kencang bertiup, lebih baik tidak menompangnya. Tapi ini bukan soal Nita. Ini soal harga diri yang selalu kau lecehkan" kata si kurus. Masih dalam hatinya.
"Kau kira aku cemburu kalau Nita kemudian dekat padamu? Tidak. Aku tidak cemburu. Karena aku tahu siapa aku, siapa Nita, siapa kau." kata si kekar. Kemudian dengan nada yang tegar dia melanjutkan:
"Kalau kau mau ambil dia, ambil. Tinggalkan kota ini. Aku tidak suka dilecehkan." Dia mencoba meneliti wajah si kurus. Namun gelap malam menghalangi penglihatannya. Cahaya kilat tak membantu karena terlalu jauh di langit sebelah barat. Angin masih sebentar-sebentar menggoyangi dedaunan di ujung ranting.
Nita ini adalah tokoh yang bisa dibilang akar masalah dari pertengkaran yang terjadi pada si Kekar dan si Kurus (Dali), dia merupakan tokoh yang sama-sama dicintai oleh kedua orang bersahabat itu yang akhirnya menikah dengan si Kekar. Dilihat dari kutipan-kutipan yang ada, Nita ini tokohnya adalah wanita biasa yang ada pada jamannya, lugu, polos, baik, rendah hati, penyayang, dan setia.


 IV.            LATAR/SETTING
1.      Latar Waktu
Malam
“Keduanya sama mendekatkan arloji ke mata, seolah hendak tahu apa mereka tiba tepat waktu. Ketika itu malam belum lama tiba.”
“Cahaya lampu yang menjilat malam itu pun lenyap bersamanya. Renyai tidak turun lagi.”


9
“Tapi arwah manusia yang dibunuh tanpa kerelaan, sehingga menumbuhkan fantasi yang menghantu, seperti tidak menyentuh hati kedua lelaki yang mendatanginya di
malam itu.”
“Sedangkan matanya terus juga memandang si kurus yang kian menjauh dan kian hilang dalam gelap malam.”

Sore
“Hujan yang turun sedari sore, tinggal renyai. Malam menjadi kian gelap dan lebih dingin hawanya.”

Tahun
"Kita telah bersahabat sejak SMP. Berapa lama itu? Kau ingat? Lebih dua puluh tahun." si kekar memulai bicara sebagai awal pembicaraan yang panjang dengan mengingatkan segala apa yang telah diberikannya kepada si kurus selama mereka bersahabat kental.

2.      Latar Tempat
“Seperti sudah dijanjikan, dua orang lelaki bertemu di jempatan beton dekat simpang tiga depan kantor pos.”
“Dibendung oleh kabut yang biasa turun di kota pegunungan itu.”
Jalan itu lebih gelap oleh kerimbunan pohon-pohon di kiri kanannya. Dan kaki mereka sering terperosok ke lobang di jalan aspal yang telah lama tidak diperbaiki. Keduanya dengan pikiran masing-masing.”
“Kalau orang Indonesia punya ilmu, tidak akan bisa Belanda lama-lama menjajah negeri ini.”
“Lalu mereka melintasi jalan lebar yang bersimpang.”
Rumah-rumah di kedua pinggir jalan itu sudah jarang letaknya. Listrik belum sampai ke sana. Hanya cahaya lampu minyak mengintip dari celah dinding anyaman bambu. Rumah-rumah itu sunyi dan hitam. Sesunyi dan sehitam alam hingga ke puncak bukit. Sedangkan bukit itu terpampang bagai mau merahapi alam kecil di bawahnya.”
“Tiba-tiba pintu rumah di pinggir kiri jalan terbuka.”

10
“Dan perempuan lain di dalam rumah cekikikan ketawa. Lalu hilang karena pintu ditutup lagi.”
“Dan memang tak lama kemudian mereka sampai ke suatu padang luas yang membujur di sepanjang kaki bukit di kejauhan itu. Tiada pohon tumbuh disitu. Selain belukar menyemak.”
“Cahaya kilat memancar juga jauh tinggi dilangit, tanpa tenaga menembusi gelap dan kesepian padang itu.”
“Kalau kau mau ambil dia, ambil. Tinggalkan kota ini. Aku tidak suka dilecehkan.”
“Tiba-tiba dia berhenti. Dia ingat mantelnya tergantung pada ranting belukar.”
Penggunaan latar waktu dan tempat terlihat sekali menggunakan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu sangat wajar, tetapi terkadang menjadi terlalu sederhana, apalagi banyak katanya yang diulang-ulang sehingga takut menimbulkan kebosanan pada pembaca. Tetapi, memang sudah pada umumnya.


    V.            TEMA
Tema yang dapat disimpulkan dari cerpen ini dapat bermacam-macam, seperti
Persahabatan, Percintaan, Pertengkaran, Keangkuhan, Kesombongan, atau sebagainya. Namun diantara itu semua pasti ada yang lebih cocok, dan menurut saya yang lebih cocok itu cerpen ini bertemakan tentang Persahabatan dengan ide pokok Perselisihan antara Dua Sahabat. Meskipun berpangkal pada masalah cinta, tetapi yang lebih banyak diangkat dalam cerpen ini adalah tentang persahabatannya itu sendiri.
            Makna dari cerpen ini adalah bagaimana kita harus bisa bersahabat dengan begitu baiknya, begitu ikhlasnya, begitu mulianya juga begitu setianya meskipun di dalam persahabatan itu tidak dipungkiri pasti tetap ada perselisihan-perselisihan yang menyelimuti. Tetapi semua itu juga kembali lagi kepada kita sejauh mana kita akan memaknai sebuah persahabatan itu. Dan dari persahabatan itu juga kita bisa menjadi sosok yang berubah-berubah menjadi baik atau tidak tergantung dari persahabatan yang kita jalani dan tentunya kita maknai itu.




11
 VI.            TIPE
Mengacu pada tema tadi, tipe dari cerpen ini tentunya merupakan tipe cerpen
persahabatan atau bisa juga dikatakan tipe cerpen percintaan. Karena cerpen ini menceritakan sebuah persahabatan yang sudah bertahun-tahun tetapi harus menjadi bermusuhan karena masalah percintaan yang seharusnya tidak membuat persahabatan itu menjadi hancur.


VII.            NILAI
Mengacu juga pada semua unsur-unsur yang telah dianalisis terlebih dahulu cerpen
ini memiliki nilai sastra dan nilai sosial. Cerpen itu sendiri merupakan salahsatu karya sastra, pasti memiliki nilai sastranya itu sendiri, dan nilai sosial karena di sini juga dilukiskan bagaimana seharusnya kita dalam bersahabat yang baik dan bagaimana harus bisa menjalin hubungan yang baik dengan komunikasi yang baik pula.


VIII.            FUNGSI
Fungsi hampir mirip dengan nilai, cerpen ini berfungsi untuk menunjukkan bahwa
sebenarnya dalam persahabatan memang tidak selamanya aman-aman saja, pasti ada kesalahpahaman atau bahkan sampai pada pertengkaran yang sebenarnya juga itu semua bisa kita hindari dengan lebih memperbanyak komunikasi yang baik diantara sahabat itu, maka kesalahpahaman atau pertengkaran sekalipun dapat diminimalisir sebaik mungkin oleh kita sendiri.
            Sehingga dapat dikatakan cerpen ini memiliki fungsi Eksperensial yaitu fungsi yang menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan pengalaman-pengalaman manusia kepada pengapresiasi agar dapat dijiwai, dihayati, dan dinikmati sebagai pengalaman berharga.


 IX.            PENGALAMAN
Cerpen ini memiliki pengalaman dalam apresiasi, yaitu pengalaman Literer-Estetis
yang merupakan pengalaman keindahan, keelokan, kebagusan, kenikmatan, kememikatan.
Ketika itu malam belum lama tiba. Hujan yang turun sedari sore, tinggal renyai. Malam menjadi kian gelap dan lebih dingin hawanya. Salah seorang mengenakan mantel hujan.
12
Yang lain bermantel plastik transparan. Kerah mantelnya sama ditinggikan sampai menutup telinga. Kepala si kekar ditutupi oleh baret abu-abu. Si kurus oleh topi mantel. Sedangkan tangannya sama membenam jauh ke dalam saku celana. Mereka berjalan ke arah timur dengan setengah membungkuk, mengelakkan dingin dan tiupan angin malam. Tak seorangpun yang berbicara. Nyala lampu jalan yang bergoyang-goyang ditiup angin itu, redup cahayanya. Dibendung oleh kabut yang biasa turun di kota pegunungan itu. Jalan itu lengang seperti kota ditinggalkan penduduk karena ada ancaman bencana. Hanya bayangan kedua orang yang terangguk-angguk itu saja yang kelihatan. Juga memiliki pengalaman Humanistik,
Tanpa merobah letak kedua tangan, si kekar berkata lagi: "Apapun yang kau minta akan aku beri, asal kau tidak ceritakan kepada siapapun. Habis aku. Hancur harga diriku. Katakan apa yang kau mau. Kalau kau mau Nita, ambillah. Aku ikhlas."
Tiba-tiba dia berhenti. Dia ingat mantelnya tergantung pada ranting belukar. Tergesa-gesa dia kembali untuk mengambilnya. Tergesa-gesa pula dia mengenakan mantel serta mengancingkannya. Sedangkan matanya terus juga memandang si kurus yang kian menjauh dan kian hilang dalam gelap malam. Dia berlari mengejar sambil memangil-manggil nama si kurus dan minta si kurus menunggu. Ketika sampai di tempat mereka berpisah tadi, si kekar berhenti. Dia memandang berkeliling mencari dimana si kurus berada. Tidak siapapun terlihat, selain gelap malam. Bulu romanya merinding. Sambil berlari kencang, dia memanggil nama si kurus keras-keras.
"Dali, tunggu. Dali, tunggu. Jangan tinggalkan aku. Daliiii." Si kurus keluar dari persembunyiannya di belukar, setelah suara si kekar tidak terdengar lagi. Dia bersembunyi karena enggan berjalan seiring dengan sahabat lama yang sudah jadi bekas sahabat.










13
DAFTAR RUJUKAN
Effendi, Drs., S.1982.BIMBINGAN APRESIASI PUISI.Jakarta: C.V. Tangga Mustika Alam.

(2010)

2 komentar: